Pages

Wednesday 29 August 2012

Sorry for giving up

Siti

Sebuah nama yang sederhana namun indah. Siti. Gadis cilik bertubuh proporsional. Ketika pertama kukenal, ia masih anak TK. Senyuman dan tawanya menentramkan hati siapa saja yang melihatnya. Kulihat dia biasa saja, seperti halnya anak-anak seusianya. Belajar, bermain, bersosialisasi dengan lingkungan sewajarnya. Tak pernah kudengar cerita tak bagus tentang dia.


Aura

Tak kalah indahnya dengan nama sebelumnya, Aura. Gadis cilik yang kini duduk di kelas 1 SD ini berkulit kuning bersih dengan wajah imut. Gayanya masih benar-benar khas
anak-anak. Lucu, menggemaskan. Namun begitu kanak-kanaknya hingga sifat manjanya sering terlihat. Menangis, jika merasa tidak bias mengerjakan sesuatu.


Mereka

Awalnya…

Terdiri dari Ica, Siti, Aura, Tisya, dan Diva. Sangat senang ketika kehadiranku pertama kalinya disambut oleh lima gadis cilik tersebut dengan ramah. Akupun yakin, mereka anak-anak cerdas, bias menerima materi pelajaran dengan baik. Melihat mereka, aku sangat ingin membuat mereka senang dengan mapel yang akan dipelajarinya, dan nyaman dengan suasana belajar. Maka kubuat mereka menjadi nyaman denganku terlebih dahulu.
Semua terasa baik-baik saja. Mereka selalu senang ketika aku datang. Mereka tidak merasa takut dan sungkan untuk menyatakan apa yang ada di pikiran mereka.


Kemudian…

Aura dan Ica cerewet, Siti sensitive, Diva mudah terpancing emosinya, Tisya pendiam.
Membuatku menyadari bahwa apa yang selama ini kupikir run well ternyata tidak. Kata-kata Aura terlalu menyakitkan untuk didengar Siti, sehingga Siti marah, menangis, memukul. Ica berpihak pada Aura. Diva, tergantung siapa yang benar. Tisya netral. Pernah mereka saling pukul. Bukan pernah, sering.


Sedih? Pastinya.

Aku merasa gagal. Untuk pertama kalinya -meskipun belum genap setahun aku belajar untuk mengajar dan menghandle kelas—aku menangis selepas mereka pulang. Pastinya bukan menangis tersedu-sedu, hanya air mataku menetes.

Kudapatkan….

Setelahnya, aku mendapat banyak masukan dari berbagai pihak. Memang dalam hal ini mereka seharusnya bisa lebih mendengarkan aku sebagai pengajar. Namun pada akhirnya memang sikap pengajarlah yang dipertanyakan. Katanya, aku ini terlalu lemah lembut dan kurang tegas kalau sama anak. It’s ok, kritik yang sangat bagus. Memang begitulah aku.

Kini…

Aku merasa sudah biasa, melihat keributan mereka. Biasa dan bosan. Aku tidak menangis lagi selepas mereka pulang. Namun perasaan bersalah tetap selalu ada di hatiku. Akupun berniat tak mengajar mereka lagi. Biarlah digantikan yang lebih tegas dan mampu mengendalikan mereka.

Am I desperate?

Yes, I am.

And sorry, I’m not handling their class well.

No comments:

Post a Comment

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)