MACRO LINGUISTIC
Name of
members:
1) Reza Ryan . W (2010-32-044)
2) Aqmarina F (2010-32-091)
3) Annisa Puspa. D. (2010-32-093)
Class :
Macro Linguistic E
ENGLISH EDUCATION
DEPARTMENT
TEACHER TRAINING AND
EDUCATION FACULTY
MURIA KUDUS
UNIVERSITY
PRAKATA
Pertama-tama
penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
bimbingan dan petunjuk nya penulisan dan penyusunan makalah Macro Linguistic dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Makalah ini
dimaksudkan untuk mengetahui tentang
Etnhography of speaking and the structure of conversation. Kajian sosiolinguistik
tergolong mendapat perhatian besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografy
adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik. misalnya
tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga
di kemudian hari makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa di
Universitas Muria Kudus.
Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan YME senantiasa
merindhoi segala usaha kita. Amin
Kudus,
Oktober 2011
Penulis
ETNOGRAFI KOMUNIKASI
A.
Pengertian
dan cakupan
Ilmu yang mempelajari tentang
bahasa manusia secara umum adalah linguistic. Linguistik berdasarkan rentang
waktu penkajiannya ada 2 jenis, yaitu linguistik diakronis dan linguistic
sinkronis. Linguistik diakronis adalah kajian tentang bahasa di tinjau dari
sejarahnya dari waktu ke waktu. Sedangkan linguistic sinkronis adalah
pengkajian tentang bahasa berdasarkan saat bahasa itu di pakai.
Saat ini dalam merespon perkembangan
permasalahan, semua bidang kajian ilmu tidak bisa berdiri sendiri, tapi terkait
dengan bidang ilmu yang lain. Begitu juga linguistic, linguistic tidak dapat
merespon pekembangan dinamika sosial kalau masih berkutat dengan linguistic itu
sendiri. Oleh karena itu, berkembang linguistik antara bidang, yang biasa di
kenal dengan makro lingistik. Misalnya liguistik dan sosiologi menjadi
sosiolinguistik, , linguistic dan psikologi menjadi psikolinguistik, linguistic
dan antropologi menjadi linguistic antropologis, dan sebagainya.
Kajian sosiolinguistik tergolong mendapat perhatian besar
adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografy adalah kajian tentang
kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik. misalnya tentang
adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang
sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, kajian bandingan tentang
kebudyaan dari berbagai masyarakat atau kelompok.
Semula etnografi
komunikasi(etnhography of comunication) di sebut etnografi wicara atau
etnografi pertuturan(etnhography of speaking). Kalau etnography itu di pandang
sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian
etnografi itu bisa di terapkan dan di fokuskan kepada bahasa masyarakat atau
kelompok tersebut. Karena sosiolinguistik itu lebih mengungkapkan pemakaian
bahasa, dan bukan struktur bahasa, etnografi tentang bahasa di fokuskan kepada
pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi, komunikasi yang
menggunakan bahasa.
Istilah etnhography of speaking awalnya dimunculkan oleh
seorang pakar linguistik Amerika, Dell Hymes(dalam Gladwin, T. Dan Sturtevant, W, 1982;juga dalam Fishman J, 1968)
. Istilah ini kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnhography of
communication, karena istilah ini di anggap lebih tepat.
Menurut Hymes(1974) , istilah etnografi komunikasi sendiri
menunjuk cakupan kajiannya, yaitu etnografis landasannya, dan komunikatif
rantangannya dan jenis kerumitannya yang terkait. Dalam hal cakupan kajian, orang
tidak dapat hanya terpisah mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi,
sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkanny. Jika kita ingin data yang
segar, kita perlu meneliti secara langsung penggunaan bahasa dalam kontek
situasi, sehingga dapat melihat jelas pola-pola aktivitas tutur, yang lepas dari
kajian tersendiri tentang gramatika, tentang kepribadian, tentang struktur
sosial, tentang religi dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, kita
tidak dapat membentuk bahasa atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang
sempit. Kita harus mengambil konteks suatu guyup atau jaringan orang-orang, lalu
meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan
saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas
yang di ambil oleh para petutur ketika di butuhkan.
B.
Konsep-konsep
Dasar.
1)
Tata cara
bertutur.
Tata
cara bertutur(ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di
dalam guyup mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi
komunikatif sesorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu
mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu
pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta
kepercayaan, nilai dan sikap di lain pihak. Tata cara bertutur itu berbeda dari
kelompok yang satu ke kelompok masyarakat yang lain. Misalnya, di kalangan
orang-orang kulit putih Amerika , jika dua orang atau lebih terlibat dalam
percakapan dan jika dua orang mulai berbicara dalam waktu yang sama, dengan
cepat yang satu memberi kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi
tumpang tindih. Sebaliknya, jika terjadi kemacetan beberapa detik saja, para
partisipan menjadi merasa “tidak enak”, kemudian seseorang akan mulai berbicara
tentang hal-hal yang tidak penting sekedar untuk mengisi “kesenjangan” atau
kelompok partisipan itu segera bubar. Berbeda dengan kelompok Indian Amerika
yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil
giliran berbicara adalah hal yang biasa.
2)
Guyup tutur.
Guyup tutur tidak bisa
di tentukan karena di pakainya bahasa yang sama. Orang Inggris dan Amerika
sama-sama berbahasa inggris tetapi memempunyai tata cara bertutur yang berbeda
di tempat “umum”, misalnya restauran. Di Inggris dalam cakapan di restauran
suara partisipan di rendahkan sehingga orang-orang yang tak terlibat cakapan
tak akan bisa mendengar apa yang di cakapkan. Di Amerika cakapan semacam itu
dapat di dengar oleh orang sekitar.
3) Situasi, Peristiwa,
dan tindak tutur.
Untuk mengkaji perilaku
komunikatif di dalam guyup tutur, kita perlu bekerja dengan satuan-satuan
interaksi. Hymes mengemukakan tiga satuan berjenjang, dari yang besar ke yang
terkecil:situasi tutur (speech situaion), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Tindak
tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur merupakan
bagian dari situasi tutur. Hymes melukiskan situasi tutur itu sebagai “situasi
yang di kaikan dengan (atau di tandai dengan tiadanya) tutur”. Konteks situasi
semacam itu misalnya adalah upacara, peperangan, perburuan, makan-makan, memadu
cinta. Situasi tutur itu tidaklah murni komunikatif. Situasi itu mungkin
terdiri dari peristiwa yang lain. Situasi tutur sendiri bukanlah kajian atau
masalah masalah kaidah wicara, tetapi dapat di acu oleh kaidah wicara sebagai
konteks. Tiap peristiwa tutur, menurut Hymes, terbatas kepada kegiatan, yang secara
langsung di atur oleh kaidah atau norma bagi pengguna tutur. Peristiwa tutur
terjadi di dalam situasi tutur dan terdiri dari satu tindak tutur atau lebih. Kita
dapat melihat ketiganya secara jelas, di dalam suatu pesta (situasi tutur), ada
percakapan selama pesta berlangsung(peristiwa tutur), dan di dalam percakapan
itu terdapat lelucon(tindak tutur) . Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang
di hasilkan sebagai bagian dari interaksi sosial. Suatu jenis tindak tutur bisa
terjadi dalam peristiwa-peristiwa tutur
yang berbeda dan suatu jenis peristiwa tutur bisa terjadi di dalam
situasi-situasi tutur yang berbeda.
C.
Komponen
Tutur.
Menurut
Hymes, ada 16 komponen tutur yang dapat di jelaskan secara singkat sebagai
berikut.
1)
Bentuk pesan (message form)
Merupakan hal yang
mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur, di samping isi pesan. Bentuk
pesan menyangkut cara bagaimana sesuatu itu(topik) di katakan atau di beritakan.
Ketrampilan tentang cara bertutur merupakn persyaratan bagi seseorang untuk
mengungkapkan sesuatu, karena itu perlu di pelajari oleh tiap warga guyup tutur.
2)
Isi pesan
(message content)
Bentuk pesan dan isi
pesan merupakan pusat tindak tutur dan fokus bagi”struktur sintaksis”-nya, keduanya
juga saling bergantung. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang di
katakan itu berubah, serta bagaimana mempertahankan topik itu tetap menjadi
bahan percakapan.
3)
Latar(setting)
Latar
Mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur , dan biasanya mengacu
kepada keadaan fisik.
4)
Suasana (scene)
Latar
Mengacu kepada “latar psikologis” , ato batasan budaya tentang suatu kejadian
sebagai suatu jenis suasana tertentu.
5)
Penutur (speaker-sender)
6)
Pengirim (addressor)
7)
Pendengar (hearer, receive,
audience)
8)
Penerima (addressee)
Keempat
komponen ini sering membingungkan, karena
secara tradisi kita sudah biasa mengenal istilah penutur dan pendengar saja. Dalam
berbagai peristiwa tutur ternyata pasangan ini bisa tidak tepat, tetapi
keempatnya boleh di sebut sebagai partisipan(orang-orang yang terlibat dalam
pertuturan) .
9)
Maksud-hasil (*purpose-outcome)
Mempunyai beberapa ragam
bahasa yang di gunakan yang di gunakan sesuai dengan maksud yang hendak di
capai.
10) Maksud-tujuan (purpose-goal)
Tujuan suatu peristiwa
dari sudut pandang guyup tidak perlu serupa dengan tujuan yang terkait dalam
guyup itu.
11) Kunci (key)
Kunci
mengacu kepada cara, nada, atau jiwa tindak tutur di lakukan. Tindak tutur bisa
berbeda dengan karena kunci, misalnya antara serius dan santai. Pentingnya kunci terlihat jika
ada konflik antara kunci dengan isi tindak tutur, misalnya dalam sarkasme.
12) Saluran (channel)
Saluran
Mengacu kepada medium penyampaian tutur:lisan, tertulis, telegram, telepon, dan
sebagainya.
13) Bentuk tutur (form of speech)
Bentuk
tutur lebih mengarah kepada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek,
dan varietas yang dipakai secara luas.
14) Norma interaksi (norm of interaction)
Semua kaidah yang
mengatur pertuturan bersifat imperatif. Yang di maksud adalah perilaku khas dan
sopan santun tutur yang mengikat yang berlaku di dalam guyup. Misal: orang
boleh menyela atau di larang menyela percakapan.
15) Norma interpretasi (norm of interpretation)
Penjelasan
tentang norma interaksi masih memberi peluang munculnya interprestasi, terutama
jika warga guyub lain ikut serta dalam komunikasi.
16) Genre
Genre
yang di maksudkan kategori-kategori seperti puisi, mite, dongeng, peribasa, teka-teki,
cacian, doa, orasi, kuliah, perdgangan, surat edaran, editorial, dan sebagainya.
D. Nilai di balik tutur
Kita melihat di depan, tutur, dalam
suatu komunikasi memiliki kaidah-kaidah tertentu, dan yang menentukan kaidah
tersebut adalah guyup tutur. Kalau kita mengawali pandangan kita dari sudut
tutur bukan dari sudut sosial guyup tutur, kita dapat melihat, di balik tutur
ada nilai-nilai sosial budaya. Artinya dengan melihat tutur seseorang atau
kelompok orang kita dapat menentukan, setidaknya menerka, ”siapa”orang
itu, dari
kelompok mana dia, makna sosial tuturnya dan nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya.
E.
Bahasa dan Identitas
Dede Oetomo (1987) mengkaji kelompok Cina di Pasuruan dengan
melihat tutur mereka sehari-hari di berbagai peristiwa tutur. Berdasarkan
pengamatan terhadap mereka itu Dede sampai kepada simpulan tentang adanya dua
kelompok Cina yakni Cina Totok dan Cina Peranakan. Ini berarti, bahasa dapat
mencerminkan identitas kelompok.
Kajian ini berdasarkan kerangka teori etnografi
komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes yang antara lain melihat tutur sebagai
bagian dari interaksi sosial, yang memusatkan perhatian kepada perabot tutur
(means of speaking) yang
mencakup informasi mengenai khazanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai
varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam guyup.
F.
Etnografi Kode Komunikasi
Soeseno Kartomihardjo (1981) mengkaji etnografi
kode komunikatif di Jawa Timur. Dia berasumsi, variasi tutur merupakan
pencerminan dari faktor-faktor sosial dan kultural. Maka, masalah yang diujinya
variasi tutur yang tampak dan menghubungkan ke faktor-faktor sosial dan kultural
yang menentukan variasi tutur. Misalnya, Bahasa Indonesia (BI) yang dipakai orang Jawa tak terdidik dimarkahi
dengan penggunaan imbuhan bahasa Jawa (BJ); Cina peranakan juga memakai imbuhan
BJ tetapi memakai juga kata pinjaman dari bahasa Cina (BC). Ini berarti, etnisitas
menentukan kata pinjaman. Para mahasiswa memakai kata you dan kata-kata
pinjaman yang di Indonesiakan: pendidikan menjadi faktor penentu pilihan
kata. Situasi sosial dan nada bicara juga dicatat Soeseno sebagai
faktor signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur dalam
interaksi dan komunikasi mereka.
Dalam penggunaan istilah, Soeseno meminjamnya
dari Gumperz dan Hymes (1972) dan
Fishman (1972) . Istilah varietas (variety) mengacu kepada varietas bahasa (dalam hal ini
BI dan BJ) yang berkolerasi dengan
etnisitas, pendidikan, daerah, okupasi, dan sebagainya. Misalnya, ada varietas BI peranakan Cina, BI oleh orang
Jawa terdidik. Kode (code) mengacu pada bentuk tutur yang menyarankan
adanya kesalingmengertian, solidaritas, kelompok, identitas status atau
kedudukan, dan sebagainya.
booookkk ah,,,
ReplyDeletemengabadikan yang pernah dibuat dengan susah payah. haha
Delete