Pages

Saturday 12 May 2012

Etnografi Komunikasi


MACRO LINGUISTIC



  Name of  members:
1)   Reza Ryan . W      (2010-32-044)
2)   Aqmarina F           (2010-32-091)
3)   Annisa Puspa. D. (2010-32-093)
    Class            : Macro Linguistic E

ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT
TEACHER TRAINING AND EDUCATION FACULTY
MURIA KUDUS UNIVERSITY
2011






PRAKATA

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan bimbingan dan petunjuk nya penulisan dan penyusunan makalah Macro Linguistic dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.  
Makalah ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang Etnhography of speaking and the structure of conversation.  Kajian sosiolinguistik tergolong mendapat perhatian besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografy adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik. misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa
 Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.  oleh karena itu,  kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga di kemudian hari makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa di Universitas Muria Kudus.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan YME senantiasa merindhoi segala usaha kita. Amin



                                                                                                        Kudus,     Oktober  2011




                                                                                                                   Penulis








ETNOGRAFI KOMUNIKASI
A.   Pengertian dan cakupan
Ilmu yang mempelajari tentang bahasa manusia secara umum adalah linguistic. Linguistik berdasarkan rentang waktu penkajiannya ada 2 jenis, yaitu linguistik diakronis dan linguistic sinkronis. Linguistik diakronis adalah kajian tentang bahasa di tinjau dari sejarahnya dari waktu ke waktu. Sedangkan linguistic sinkronis adalah pengkajian tentang bahasa berdasarkan saat bahasa itu di pakai.
Saat ini dalam merespon perkembangan permasalahan, semua bidang kajian ilmu tidak bisa berdiri sendiri, tapi terkait dengan bidang ilmu yang lain. Begitu juga linguistic, linguistic tidak dapat merespon pekembangan dinamika sosial kalau masih berkutat dengan linguistic itu sendiri. Oleh karena itu, berkembang linguistik antara bidang, yang biasa di kenal dengan makro lingistik. Misalnya liguistik dan sosiologi menjadi sosiolinguistik, , linguistic dan psikologi menjadi psikolinguistik, linguistic dan antropologi menjadi linguistic antropologis, dan sebagainya.
Kajian sosiolinguistik tergolong mendapat perhatian besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografy adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik. misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, kajian bandingan tentang kebudyaan dari berbagai masyarakat atau kelompok.
                Semula etnografi komunikasi(etnhography of comunication) di sebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan(etnhography of speaking). Kalau etnography itu di pandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa di terapkan dan di fokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompok tersebut. Karena sosiolinguistik itu lebih mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan struktur bahasa, etnografi tentang bahasa di fokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi, komunikasi yang menggunakan bahasa.
Istilah etnhography of speaking awalnya dimunculkan oleh seorang pakar linguistik Amerika, Dell Hymes(dalam Gladwin, T.  Dan Sturtevant, W, 1982;juga dalam Fishman J, 1968) . Istilah ini kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnhography of communication, karena istilah ini di anggap lebih tepat.
Menurut Hymes(1974) , istilah etnografi komunikasi sendiri menunjuk cakupan kajiannya, yaitu etnografis landasannya, dan komunikatif rantangannya dan jenis kerumitannya yang terkait. Dalam hal cakupan kajian, orang tidak dapat hanya terpisah mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkanny. Jika kita ingin data yang segar, kita perlu meneliti secara langsung penggunaan bahasa dalam kontek situasi, sehingga dapat melihat jelas  pola-pola aktivitas tutur, yang lepas dari kajian tersendiri tentang gramatika, tentang kepribadian, tentang struktur sosial, tentang religi dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, kita tidak dapat membentuk bahasa atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Kita harus mengambil konteks suatu guyup atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang di ambil oleh para petutur ketika di butuhkan. 

B.    Konsep-konsep Dasar.
1)    Tata cara bertutur.
Tata cara bertutur(ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam guyup mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif sesorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai dan sikap di lain pihak. Tata cara bertutur itu berbeda dari kelompok yang satu ke kelompok masyarakat yang lain. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih Amerika , jika dua orang atau lebih terlibat dalam percakapan dan jika dua orang mulai berbicara dalam waktu yang sama, dengan cepat yang satu memberi kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sebaliknya, jika terjadi kemacetan beberapa detik saja, para partisipan menjadi merasa “tidak enak”, kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak penting sekedar untuk mengisi “kesenjangan” atau kelompok partisipan itu segera bubar. Berbeda dengan kelompok Indian Amerika yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil giliran berbicara adalah hal yang biasa. 

2)    Guyup tutur.
Guyup tutur tidak bisa di tentukan karena di pakainya bahasa yang sama. Orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa inggris tetapi memempunyai tata cara bertutur yang berbeda di tempat “umum”, misalnya restauran. Di Inggris dalam cakapan di restauran suara partisipan di rendahkan sehingga orang-orang yang tak terlibat cakapan tak akan bisa mendengar apa yang di cakapkan. Di Amerika cakapan semacam itu dapat di dengar oleh orang sekitar.

3)    Situasi, Peristiwa, dan tindak tutur.
Untuk mengkaji perilaku komunikatif di dalam guyup tutur, kita perlu bekerja dengan satuan-satuan interaksi. Hymes mengemukakan tiga satuan berjenjang, dari yang besar ke yang terkecil:situasi tutur (speech situaion), peristiwa tutur (speech event),  dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Hymes melukiskan situasi tutur itu sebagai “situasi yang di kaikan dengan (atau di tandai dengan tiadanya) tutur”. Konteks situasi semacam itu misalnya adalah upacara, peperangan, perburuan, makan-makan, memadu cinta. Situasi tutur itu tidaklah murni komunikatif. Situasi itu mungkin terdiri dari peristiwa yang lain. Situasi tutur sendiri bukanlah kajian atau masalah masalah kaidah wicara, tetapi dapat di acu oleh kaidah wicara sebagai konteks. Tiap peristiwa tutur, menurut Hymes, terbatas kepada kegiatan, yang secara langsung di atur oleh kaidah atau norma bagi pengguna tutur. Peristiwa tutur terjadi di dalam situasi tutur dan terdiri dari satu tindak tutur atau lebih. Kita dapat melihat ketiganya secara jelas, di dalam suatu pesta (situasi tutur), ada percakapan selama pesta berlangsung(peristiwa tutur), dan di dalam percakapan itu terdapat lelucon(tindak tutur) . Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang di hasilkan sebagai bagian dari interaksi sosial. Suatu jenis tindak tutur bisa terjadi dalam peristiwa-peristiwa tutur  yang berbeda dan suatu jenis peristiwa tutur bisa terjadi di dalam situasi-situasi tutur yang berbeda.

C.    Komponen Tutur.
Menurut Hymes, ada 16 komponen tutur yang dapat di jelaskan secara singkat sebagai berikut.
1)        Bentuk pesan (message form)
         Merupakan hal yang mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur, di samping isi pesan. Bentuk pesan menyangkut cara bagaimana sesuatu itu(topik) di katakan atau di beritakan. Ketrampilan tentang cara bertutur merupakn persyaratan bagi seseorang untuk mengungkapkan sesuatu, karena itu perlu di pelajari oleh tiap warga guyup tutur.
2)        Isi pesan (message content)
         Bentuk pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur dan fokus bagi”struktur sintaksis”-nya, keduanya juga saling bergantung. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang di katakan itu berubah, serta bagaimana mempertahankan topik itu tetap menjadi bahan percakapan.
3)        Latar(setting)
Latar Mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur , dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik.
4)        Suasana (scene)
Latar Mengacu kepada “latar psikologis” , ato batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu.
5)        Penutur (speaker-sender)
6)        Pengirim (addressor)
7)        Pendengar (hearer, receive, audience)
8)        Penerima (addressee)
Keempat komponen  ini sering membingungkan, karena secara tradisi kita sudah biasa mengenal istilah penutur dan pendengar saja. Dalam berbagai peristiwa tutur ternyata pasangan ini bisa tidak tepat, tetapi keempatnya boleh di sebut sebagai partisipan(orang-orang yang terlibat dalam pertuturan) .
9)        Maksud-hasil (*purpose-outcome)
         Mempunyai beberapa ragam bahasa yang di gunakan yang di gunakan sesuai dengan maksud yang hendak di capai.
10)     Maksud-tujuan (purpose-goal)
         Tujuan suatu peristiwa dari sudut pandang guyup tidak perlu serupa dengan tujuan yang terkait dalam guyup itu.
11)     Kunci (key)
Kunci mengacu kepada cara, nada, atau jiwa tindak tutur di lakukan. Tindak tutur bisa berbeda dengan karena kunci, misalnya antara serius  dan santai. Pentingnya kunci terlihat jika ada konflik antara kunci dengan isi tindak tutur, misalnya dalam sarkasme.
12)     Saluran (channel)
Saluran Mengacu kepada medium penyampaian tutur:lisan, tertulis, telegram, telepon, dan sebagainya.
13)     Bentuk tutur (form of speech)
Bentuk tutur lebih mengarah kepada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek, dan varietas yang dipakai secara luas.
14)     Norma interaksi (norm of interaction)
         Semua kaidah yang mengatur pertuturan bersifat imperatif. Yang di maksud adalah perilaku khas dan sopan santun tutur yang mengikat yang berlaku di dalam guyup. Misal: orang boleh menyela atau di larang menyela percakapan.
15)     Norma interpretasi (norm of interpretation)
Penjelasan tentang norma interaksi masih memberi peluang munculnya interprestasi, terutama jika warga guyub lain ikut serta dalam komunikasi.
16)     Genre
Genre yang di maksudkan kategori-kategori seperti puisi, mite, dongeng, peribasa, teka-teki, cacian, doa, orasi, kuliah, perdgangan, surat edaran, editorial, dan sebagainya.

D.   Nilai di balik tutur
          Kita melihat di depan, tutur, dalam suatu komunikasi memiliki kaidah-kaidah tertentu, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah guyup tutur. Kalau kita mengawali pandangan kita dari sudut tutur bukan dari sudut sosial guyup tutur, kita dapat melihat, di balik tutur ada nilai-nilai sosial budaya. Artinya dengan melihat tutur seseorang atau kelompok orang kita dapat menentukan,  setidaknya menerka, ”siapa”orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tuturnya dan nilai,  ajaran,  pandangan hidup,  dan sebagainya.

E.    Bahasa dan Identitas
Dede Oetomo (1987)  mengkaji kelompok Cina di Pasuruan dengan melihat tutur mereka sehari-hari di berbagai peristiwa tutur. Berdasarkan pengamatan terhadap mereka itu Dede sampai kepada simpulan tentang adanya dua kelompok Cina yakni Cina Totok dan Cina Peranakan. Ini berarti, bahasa dapat mencerminkan identitas kelompok.
Kajian ini berdasarkan kerangka teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial, yang memusatkan perhatian kepada perabot tutur (means of speaking)  yang mencakup informasi mengenai khazanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam guyup.

F.    Etnografi Kode Komunikasi
Soeseno Kartomihardjo (1981) mengkaji etnografi kode komunikatif di Jawa Timur. Dia berasumsi, variasi tutur merupakan pencerminan dari faktor-faktor sosial dan kultural. Maka, masalah yang diujinya variasi tutur yang tampak dan menghubungkan ke faktor-faktor sosial dan kultural yang menentukan variasi tutur. Misalnya, Bahasa Indonesia (BI)  yang dipakai orang Jawa tak terdidik dimarkahi dengan penggunaan imbuhan bahasa Jawa (BJ); Cina peranakan juga memakai imbuhan BJ tetapi memakai juga kata pinjaman dari bahasa Cina (BC). Ini berarti, etnisitas menentukan kata pinjaman. Para mahasiswa memakai kata you dan kata-kata pinjaman yang di Indonesiakan: pendidikan menjadi faktor penentu pilihan kata. Situasi sosial dan nada bicara juga dicatat Soeseno sebagai faktor signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur dalam interaksi dan komunikasi mereka.
Dalam penggunaan istilah, Soeseno meminjamnya dari Gumperz dan Hymes (1972)  dan Fishman (1972) . Istilah varietas (variety)  mengacu kepada varietas bahasa (dalam hal ini BI dan BJ)  yang berkolerasi dengan etnisitas, pendidikan, daerah, okupasi, dan sebagainya. Misalnya,  ada varietas BI peranakan Cina, BI oleh orang Jawa terdidik. Kode (code)  mengacu pada bentuk tutur yang menyarankan adanya kesalingmengertian, solidaritas, kelompok, identitas status atau kedudukan, dan sebagainya.

2 comments:

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)