Pages

Friday, 11 May 2012

I’ll Be There for U, Sinta…


         Kepala Sinta masih terasa pusing saat seseorang mengguncang tubuhnya. Sayup-sayup ia mendengar orang itu bicara padanya.
“Sin, cepetan  bangun!”
“Hoamh…” Sinta menggeliat dan menguap, tapi tak juga membuka matanya.
“Sin, cepetan donk. Ada telpon dari Mba Ririn tuh !”
Mendengar nama kakak pacarnya disebut, Sinta membuka matanya sedikit. Ternyata Santi, saudara kembarnya yang dari tadi membangunkannya.
“Mba Ririn?”
ulang Sinta dengan suara serak.
“Iya. Udah, buruan turun deh. Kasihan Mba Ririn, udah nunggu daritadi tuh.”
Sinta nurut juga. Diseretnya kaki menuruni anak tangga demi anak tangga menuju ruang keluarga. Agaknya dia kaget juga, melihat jam dinding yang masih nunjukin pukul 5 pagi. Setelah bicara kira-kira 10 menit sama Mba Ririn, Sinta meletakkan gagang telepon dengan senyum mengembang. Rasa kantuknya hilang seketika. Ardi, pacarnya yang kuliah di Singapura dan udah hampir setahun ngga pulang, hari ini pulang dan siang nanti dia bakal ketemu sang pujaan hati. Dan yang bikin dia lebih seneng, sepulang kuliah nanti Mba Ririn bakal jemput dia buat langsung ketemu sama Ardi.
“Eh, senyum-senyum lo. Kenapa? Ada apa tuh Mba Ririn sampai telpon pagi-pagi gini?” Tanya Santi ngeliat kembarannya kegirangan.
”Gue seneng banget San. Si Ardi pulang. Trus nanti siang gue diajak Mba Ririn buat ketemu dia.” Sinta menggebu-gebu.
“Kog tumben Ardi ngga langsung ke sini? Tumben juga lo sampai ngga tau dia mo pulang?”
“Dia mau ngasih kejutan kali. Makanya ga bilang-bilang. Lagian hape gue mati semalem. Siapa tahu dia udah telpon atau sms gue . Yang penting kan dia nyampe dengan selamat , San,” Jelas Sinta, “udah ya, gue mo mandi yang wangi and dandan yang paling cantik hari ini... Dah Santi sayang…” Sinta mencolek pipi kembarannya. Santi jadi sebal dibuatnya.
*
Pukul 10.55 WIB
Sinta baru aja keluar dari kelasnya. Ia segera berjalan menuju taman rektorat. Lima menit kemudian, Mba Ririn dateng. Sinta yang sedaritadi duduk, segera berdiri menyambut Mba Ririn. Kaca jendela mobil diturunkan, dan wajah cantik Mba Ririn muncul dari baliknya.
“Yuk, Sin.” Kata Mba Ririn sembari tersenyum.
Sinta membuka pintu mobil, dan duduk di sebelah Mba Ririn. Selama perjalanan Mba Ririn cuma bicara seperlunya, kelihatannya ia sedang capek. Maka Sinta ngga mau banyak nanya, mau diajak kemana dia.
 “Masih jauh Mba?” Sinta mencoba mencairkan suasana.
“Ngga kog. Lima menitan lagi juga nyampe.”
Beberapa saat kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah sakit besar di kota ini. Sinta melongo.
“Mba? Ngga salah nih?” Tanya Sinta.
Mba Ririn menggeleng, “Ayo kita turun.”
Walaupun masih bingung, Sinta nurut aja.
“Ardi sakit mba?”
“Engga Sin…”
“Trus? Ngapain kita ke sini?”
Tak ada jawaban. Mereka terus berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit ini. Sinta menatap Mba Ririn. Baru ia sadari, Mba Ririn mencoba membendung air matanya dari tadi. Sinta terdiam. Hanya terus mengikuti langkah kaki Mba Ririn. Tepat di depan sebuah kamar, yang terletak paling ujung di lorong ini, Mba Ririn menghentikan langkahnya. Pintu kamar terbuka, namun Sinta tak tertarik menengok ke dalam kamar. Mba Ririn terlihat semakin sedih.
“Mba, kita mau ngapain di depan sini? Ardi dimana?”
Tanpa berkata apapun, Mba Ririn membimbing Sinta masuk kamar. Sinta yang sempat berontak, pada akhirnya menghambur masuk begitu melihat orang tua Ardi di dalam kamar. Menangis. Sinta terkesiap, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Beberapa detik kemudian, tangisnya meledak. Histeris, mendapati tubuh Ardi yang kaku dan pucat terbaring di salah satu tempat tidur di kamar jenazah rumah sakit.
*
Kepala Sinta masih terasa pusing saat seseorang mengguncang tubuhnya perlahan.
“Sinta, bangun sayang. Aku di sini.” Suara itu lembut berbisik di telinga Sinta.
Tak ada respon. Sinta terlalu lemah untuk merespon suara itu, meski ia mendengarnya jelas.
“Sinta, bangunlah. Ini aku, Ardi.” Suara itu kembali terdengar.
Perlahan, Sinta membuka mata. Ia begitu bahagia mendapati Ardi tersenyum di hadapannya. Dipeluknya sang kekasih erat-erat.
“Ardi, syukurlah kamu ngga kenapa-napa. Aku mimpi buruk, Di. Aku mimpi, aku kehilangan kamu selamanya.” Kata Sinta, masih dalam pelukan Ardi.
“Kita ngga akan pisah Sin. Kita akan bersama selamanya.”
Sinta melepas pelukannya, saat ia menyadari, kerumunan orang-orang disekitarnya. Mama, Santi, tetangga-tetangga, om dan tantenya semua ada di rumah. Belum habis rasa herannya melihat orang-orang di rumahnya sedih, Sinta mendapati tubuh pucatnya terbaring di antara kerumunan orang-orang. Baru disadarinya, penyakit jantung membuatnya terrenggut dari raganya kini.
“Jangan sedih, Sin. Aku akan selalu nemenin kamu.” Suara Ardi memecah lamunan Sinta.

^THE END^

No comments:

Post a Comment

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)