Kepala Sinta masih terasa pusing saat seseorang mengguncang tubuhnya. Sayup-sayup ia mendengar orang itu bicara padanya.
“Sin, cepetan bangun!”
“Hoamh…” Sinta
menggeliat dan menguap, tapi tak juga membuka matanya.
“Sin, cepetan donk. Ada
telpon dari Mba Ririn tuh !”
Mendengar nama kakak
pacarnya disebut, Sinta membuka matanya sedikit. Ternyata Santi, saudara
kembarnya yang dari tadi membangunkannya.
“Iya. Udah, buruan turun
deh. Kasihan Mba Ririn, udah nunggu daritadi tuh.”
Sinta nurut juga.
Diseretnya kaki menuruni anak tangga demi anak tangga menuju ruang keluarga.
Agaknya dia kaget juga, melihat jam dinding yang masih nunjukin pukul 5 pagi. Setelah
bicara kira-kira 10 menit sama Mba Ririn, Sinta meletakkan gagang telepon
dengan senyum mengembang. Rasa kantuknya hilang seketika. Ardi, pacarnya yang kuliah
di Singapura dan udah hampir setahun ngga pulang, hari ini pulang dan siang
nanti dia bakal ketemu sang pujaan hati. Dan yang bikin dia lebih seneng, sepulang
kuliah nanti Mba Ririn bakal jemput dia buat langsung ketemu sama Ardi.
“Eh, senyum-senyum lo.
Kenapa? Ada apa tuh Mba Ririn sampai telpon pagi-pagi gini?” Tanya Santi
ngeliat kembarannya kegirangan.
”Gue seneng banget San.
Si Ardi pulang. Trus nanti siang gue diajak Mba Ririn buat ketemu dia.” Sinta
menggebu-gebu.
“Kog tumben Ardi ngga
langsung ke sini? Tumben juga lo sampai ngga tau dia mo pulang?”
“Dia mau ngasih kejutan
kali. Makanya ga bilang-bilang. Lagian hape gue mati semalem. Siapa tahu dia
udah telpon atau sms gue . Yang penting kan dia nyampe dengan selamat , San,”
Jelas Sinta, “udah ya, gue mo mandi yang wangi and dandan yang paling cantik
hari ini... Dah Santi sayang…” Sinta mencolek pipi kembarannya. Santi jadi sebal
dibuatnya.
*
Pukul 10.55 WIB
Sinta baru aja keluar
dari kelasnya. Ia segera berjalan menuju taman rektorat. Lima menit kemudian, Mba
Ririn dateng. Sinta yang sedaritadi duduk, segera berdiri menyambut Mba Ririn.
Kaca jendela mobil diturunkan, dan wajah cantik Mba Ririn muncul dari baliknya.
“Yuk, Sin.” Kata Mba
Ririn sembari tersenyum.
Sinta membuka pintu
mobil, dan duduk di sebelah Mba Ririn. Selama perjalanan Mba Ririn cuma bicara
seperlunya, kelihatannya ia sedang capek. Maka Sinta ngga mau banyak nanya, mau
diajak kemana dia.
“Masih jauh Mba?” Sinta mencoba mencairkan
suasana.
“Ngga kog. Lima menitan
lagi juga nyampe.”
Beberapa saat kemudian,
mobil berbelok ke sebuah rumah sakit besar di kota ini. Sinta melongo.
“Mba? Ngga salah nih?”
Tanya Sinta.
Mba Ririn menggeleng,
“Ayo kita turun.”
Walaupun masih bingung,
Sinta nurut aja.
“Ardi sakit mba?”
“Engga Sin…”
“Trus? Ngapain kita ke
sini?”
Tak ada jawaban. Mereka
terus berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit ini. Sinta menatap Mba
Ririn. Baru ia sadari, Mba Ririn mencoba membendung air matanya dari tadi.
Sinta terdiam. Hanya terus mengikuti langkah kaki Mba Ririn. Tepat di depan
sebuah kamar, yang terletak paling ujung di lorong ini, Mba Ririn menghentikan
langkahnya. Pintu kamar terbuka, namun Sinta tak tertarik menengok ke dalam
kamar. Mba Ririn terlihat semakin sedih.
“Mba, kita mau ngapain
di depan sini? Ardi dimana?”
Tanpa berkata apapun, Mba
Ririn membimbing Sinta masuk kamar. Sinta yang sempat berontak, pada akhirnya
menghambur masuk begitu melihat orang tua Ardi di dalam kamar. Menangis. Sinta
terkesiap, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Air mata mengalir deras
membasahi pipinya. Beberapa detik kemudian, tangisnya meledak. Histeris,
mendapati tubuh Ardi yang kaku dan pucat terbaring di salah satu tempat tidur di
kamar jenazah rumah sakit.
*
Kepala Sinta masih
terasa pusing saat seseorang mengguncang tubuhnya perlahan.
“Sinta, bangun sayang.
Aku di sini.” Suara itu lembut berbisik di telinga Sinta.
Tak ada respon. Sinta
terlalu lemah untuk merespon suara itu, meski ia mendengarnya jelas.
“Sinta, bangunlah. Ini
aku, Ardi.” Suara itu kembali terdengar.
Perlahan, Sinta membuka
mata. Ia begitu bahagia mendapati Ardi tersenyum di hadapannya. Dipeluknya sang
kekasih erat-erat.
“Ardi, syukurlah kamu
ngga kenapa-napa. Aku mimpi buruk, Di. Aku mimpi, aku kehilangan kamu
selamanya.” Kata Sinta, masih dalam pelukan Ardi.
“Kita ngga akan pisah
Sin. Kita akan bersama selamanya.”
Sinta melepas
pelukannya, saat ia menyadari, kerumunan orang-orang disekitarnya. Mama, Santi,
tetangga-tetangga, om dan tantenya semua ada di rumah. Belum habis rasa
herannya melihat orang-orang di rumahnya sedih, Sinta mendapati tubuh pucatnya
terbaring di antara kerumunan orang-orang. Baru disadarinya, penyakit jantung
membuatnya terrenggut dari raganya kini.
“Jangan sedih, Sin. Aku
akan selalu nemenin kamu.” Suara Ardi memecah lamunan Sinta.
^THE END^
No comments:
Post a Comment
mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)