Pages

Friday 20 April 2012

Demi Bapak

Bagi sebagian besar siswa kelas XII, masa-masa akhir SMA merupakan masa yang paling ditunggu-tunggu. Walaupun sedikit menegangkan karena harus menempuh berbagai ujian sebelum meninggalkan SMA, namun terasa menyenangkan karena sebentar lagi mereka berganti status dari siswa menjadi mahasiswa. Namun tidak untukku. Bagiku menunggu saat-saat kelulusan SMA ini sama saja menunggu berakhirnya masa mudaku…


Pagi itu saat istirahat pertama di sekolah, aku berkunjung ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Hari ini, seperti yang telah dijanjikan Bu Ratih, kami akan mengetahui pengumuman perolehan beasiswa bagi calon mahasiswa baru. Satu minggu yang lalu, aku mengajukan beasiswa ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Jawa Barat.
Sudah lama aku menginginkan dapat melanjutkan kuliah di Universitas tersebut. Kebetulan prestasiku selama di SMA ini cukup baik, sehingga aku dapat mengajukan beasiswa. Dengan hati berdebar, ku mempercepat langkahku. Aku berharap, aku termasuk salah satu siswa yang mendapat beasiswa itu. Sesampainya di BK, Bu Ratih menyambutku dengan senyum khasnya.


“Bagaimana Bu?”, tanyaku sambil mengatur nafas.


“Selamat ya Na, kamu terpilih mendapatkan beasiswa itu.”, Bu Ratih menyodorkan amplop berlogokan Universitas yang selama ini ku inginkan, kulihat namaku tertera di sana. ALLYSA RAHMANINDA.


Buru-buru kubuka amplop itu, kubaca sekilas dengan perasaan bahagia tak terkira.


“Alhamdulillah….”, segera kulipat kembali surat itu dan kumasukkan ke amplopnya.


“Sekali lagi selamat ya Na, jangan lupa dibaca persyaratan untuk daftar ulangnya. Surat itu disimpan, jangan sampai hilang ya.”


“Baik Bu, terima kasih.”


Ku cium tangan Bu Ratih, kemudian segera melesat menuju kelas.


Pelajaran hari ini terasa lebih lama dari biasanya. Aku memang sudah tak sabar ingin segera pulang dan memberitahukan kabar bahagia tadi kepada bapak. Ya, hanya bapak. Ibu meninggal karena penyakit jantungnya ketika aku masih kelas VII SMP. Kakak pertamaku, Rina, sudah menikah dan ikut suaminya. Sedangkan Roni, kakak laki-lakiku, memilih bekerja di luar kota setelah lulus SMA demi membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Aku sendiri sebenarnya pernah mengutarakan keinginanku untuk kuliah pada Mas Roni. Mas Roni dan bapak mengiyakan walaupun sebenarnya mereka masih berpikir bagaimana membiayai kuliahku nantinya.


“Bapak pasti senang”, pikirku sambil tersenyum.


Aku memacu sepedaku sekencang mungkin, agar bisa segera sampai di rumah. Kudapati sebuah mobil terparkir di halaman rumah. Aku sangat terkejut begitu melihat seorang lelaki bertubuh gempal siap melayangkan pukulannya ke arah bapak.


“Hentikan!!”, seruku seketika.


Lelaki itu menoleh ke arahku lalu menurunkan kepalan tangannya. Seorang lelaki berkulit gelap masih tetap memegangi tubuh bapak sedari tadi. Bapak meringis kesakitan dan terlihat ketakutan.


“Ada apa ini? Kenapa bapak dipukuli?”


“Heh bocah, bapakmu ini mencuri beberapa barang di toko juragan Kosim tadi!”, kata lelaki berbadan gempal kasar.


Aku tak percaya dengan perkataan lelaki itu. Segera kulemparkan pandanganku ke arah bapak yang sedari tadi menunduk, berharap kudapatkan penjelasan yang melegakan hati. Namun bapak bungkam. Bapak malah terisak dan meneteskan air mata.


“Pak? Bapak tidak mencuri kan, Pak? Tolong jawab, Pak…”, tanpa kusadari, suaraku bergetar.


Suasana hening sesaat hingga akhirnya bapak membuka mulut.


“Maafkan bapak, Nak. Bapak khilaf. Tadi bapak mengambil beberapa barang kebutuhan sehari-hari di toko Juragan Kosim, karena bapak sedang benar-benar tidak punya uang untuk membeli kebutuhan kita”, Bapak tersedu.


Dadaku terasa sesak mendengar pengakuan bapak. Bagaimana mungkin, seorang Ayah yang selama ini menjadi panutanku, dan selalu mengajarkanku kebaikan, kini melakukan hal yang tidak terpuji. Aku terpaku sesaat.


“Kau sudah dengar kan? Bapakmu pantas menerima ini!”, Lelaki bertubuh gempal itu akhirnya mendaratkan pukulannya di wajah bapak, lebih dari sekali. Bapak tersungkur tak berdaya.


“Tolong hentikan!”


Aku menangis. Kuhampiri bapak yang tergeletak lemah di lantai. Bapak mengaduh lirih kesakitan. Tiba-tiba Juragan Kosim, si pemilik toko muncul.


“Tolong jangan sakiti bapak saya. Tolong! Apa masalah ini tidak bisa dibicarakan baik-baik, Pak?”


“Dibicarakan baik-baik? Bapakmu itu tidak tahu diri, dia mencuri setelah banyak berhutang di tokoku! Aku akan melaporkan ini pada polisi!”, ancam Juragan Kosim.


“Oh tolonglah Pak, jangan laporkan bapak saya ke polisi. Saya akan berusaha mengganti hutang-hutang bapak dan mengembalikan barang yang bapak ambil”, Aku memohon.


“Hahahaha… kamu bisa apa? Kamu punya uang berapa? Hah?


“Hutang bapakmu itu terlalu banyak untuk ditebus, ditambah lagi kelakuannya yang tidak pantas”


“Saya mohon Juragan. Tolong beri pilihan lain yang masih bisa saya lakukan untuk mengganti hutang-hutang bapak”


“Hm… baiklah. Aku akan segera memberitahu apa yang harus kau lakukan.”


Juragan Kosim kemudian angkat kaki dari rumah kami. Aku menghela nafas lega, walau masih belum tahu, apa yang direncanakan Juragan Kosim. Aku hanya bersyukur, dapat segera mengobati memar-memar di sekujur tubuh bapak. Aku melupakan niatku untuk memberitahu bapak tentang beasiswa itu. Yang penting bagiku sekarang adalah kesembuhan bapak.






Pagi itu aku berangkat sekolah dengan galau. Aku khawatir orang suruhan Juragan Kosim kembali datang ke rumah dan menyakiti bapak. Aku mengikuti pelajaran dengan setengah hati hari itu.


Sepulang sekolah, kudapati bapak terduduk di kursi teras depan rumah. Melihat kedatanganku, bapak bangkit dari duduknya dan mencoba tersenyum. Sepertinya bapak sudah menungguku dari tadi. Kuhampiri bapak segera.



“Kenapa di luar, Pak? Kan Bapak masih sakit.”


“Ayo cepat ganti baju. Kita ke rumah Juragan Kosim sekarang.”, kata bapak menyuruhku bergegas.


“Sekarang? Memangnya ada apa, Pak?”


“Sudahlah cepat, tadi suruhan Juragan Kosim kemari. Dia minta kita menemui Juragan Kosim segera. Ayo Nak, jangan buat Juragan Kosim menunggu lama.”, Jelas bapak.


Akupun mengangguk dan segera masuk ke kamar, menanggalkan seragam sekolahku dan “Sekarang? Memangnya ada apa, Pak?”


“Sudahlah cepat, tadi suruhan Juragan Kosim kemari. Dia minta kita menemui Juragan Kosim segera. Ayo Nak, jangan buat Juragan Kosim menunggu lama.”, Jelas bapak.


Akupun mengangguk dan segera masuk ke kamar, menanggalkan seragam sekolahku dan menggantinya dengan baju yang rapi dan sopan.


***


“Akhirnya kalian datang juga.” Kata Juragan Kosim angkuh.


“Ya Juragan, kami datang. Maaf, ada keperluan apa ya Juragan?”, Tanya bapak terbata-bata.


“Kemarin kau berjanji mau melakukan apapun, untuk mengganti hutang-hutang bapakmu kan?”, Juragan menatapku.


“Iya Juragan. Apa yang bisa saya lakukan?”


Juragan Kosim malah memanggil seseorang. Tak lama kemudian, muncul lelaki berwajah mirip Juragan Kosim. Tak tampan dan tak buruk. Umurnya mungkin sekitar 30 tahun. Lelaki itupun tersenyum pada kami. Juragan Kosim lalu menyuruhnya bergabung dengan kami di ruang tamu.


“Ada apa, Pa?”, Tanya lelaki itu, yang ternyata anak Juragan Kosim. Sepertinya dia juga belum tahu apa yang diinginkan ayahnya.


“Kenalkan, ini Hendra, anak saya.”


Aku dan bapak hanya tersenyum kecut.


“Sesuai dengan permintaanmu kemarin Lisa, aku akan memberikanmu solusi lain untuk menyelesaikan masalah bapakmu.”


“Apa itu Juragan?”, Tanya bapak khawatir.


“Menikahlah dengan Hendra, maka semua hutang dan kesalahan bapakmu akan kulupakan.”, Juragan Kosim berkata penuh kemenangan.


Hendra putra Juragan Kosim sedikit terkejut, tapi tidak protes. Bapak terdiam menyesal. Aku sangat amat terkejut. Masih antara percaya dan tidak, dengan perkataan Juragan Kosim yang baru saja kudengar. Ingin tertawa, tapi tak bisa. Bagaimana mungkin, di zaman serba canggih seperti ini masih ada orang berpola fikir bak zaman Siti Nurbaya. Ingin membantah, tapi tak bisa. Hanya ada dua pilihan bagiku. Bapak tidak akan dipenjara dan aku kehilangan masa depanku yang berharga. Atau aku mengedepankan egoku sehingga aku tetap bisa menggapai cita-cita, sedangkan bapak meringkuk di balik jeruji besi. Aku benar-benar dilema. Sungguh sebuah pilihan yang sulit bagiku.


“Bagaimana?”, suara Juragan Kosim membuyarkan lamunanku.


“Kenapa solusinya harus dengan menikahkan anak kita Juragan? Anak saya masih terlalu muda untuk menikah, dia masih sekolah.”, bapak merajuk.


“Jangan protes kau. Cepat tentukan sekarang, Lisa. Kalau tidak, aku lapor polisi sekarang juga.”, Juragan Kosim mengeluarkan handphone dari sakunya.


“Jangan Juragan”, kataku refleks.


Juragan Kosim menatapku dan tersenyum.


“Jadi, itu artinya kau mau menikah dengan anakku. Hahaha.”


Juragan kosim tertawa terbahak-bahak. Aku menangis tersedu-sedu dalam hati. Belum sempat aku merasakan bahagia mendapat beasiswa di Universitas Negeri impianku, aku sudah dipaksa menikah. Pupus sudah harapanku menjadi dokter spesialis mata. Aku tak pernah membayangkan, masa depanku akan setragis ini. Namun ini semua demi bapak. Aku tak mungkin membiarkan bapak yang sudah semakin tua tinggal kedinginan dalam penjara. Aku benar-benar kalut.










Dua hari setelah pengumuman kelulusan, akad nikah dan resepsi pernikahanku dengan Hendra dilaksanakan. Aku enggan memejamkan mata semalam. Malam itu aku dan Ayah menginap di sebuah hotel di Surabaya, tempat resepsi pernikahan digelar. Ayah tidur sendiri, sedangkan aku ditemani Mbok Inah, pembantu Juragan Kosim yang sudah agak sepuh. Air mataku tak henti menetes mengingat prestasi yang baru saja kuraih. Aku lulus dengan nilai peringkat kedua sejurusan IPA di sekolahku. Namun semua itu rasanya tak ada artinya lagi. Aku harus mengikhlaskan masa depanku yang cerah berakhir di pelaminan. Kuadukan segala kegundahan hatiku pada Sang Pencipta. Berharap Dia tetap selalu mencurahkan kasih sayang-Nya padaku. Pagi harinya aku terbangun dengan mata sembab. Tak lama setelah aku mandi, pintu kamarku diketuk. Ah, ternyata sang penatarias pengantin telah tiba. Merekapun segera meriasku. Kulihat diriku begitu cantik dengan balutan busana pengantin berwarna putih. Namun tentu saja hatiku tak bahagia. Selesai dirias aku segera masuk mobil pengantin yang siap mengantarku menuju sebuah masjid, tempat dilangsungkannya akad nikah.


Sejak semalam sebelum pelaksanaan akad nikah, aku sudah harus menuruti peraturan yang dibuat Juragan Kosim. Salah satunya aku tidak boleh lagi berhubungan dengan teman-temanku. Juragan Kosim merampas handphoneku, yang kubeli dengan uang tabunganku sendiri. Namun bukan itu yang membuatku sedih. Menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melanjutkan kuliah adalah hal yang paling membuatku sedih.


“Maafin kelakuan Papa ya Lis”, kata Hendra di malam setelah resepsi digelar. Hanya ada aku, dia, dan seorang pembantu di rumah baru ini. Sebuah rumah di suatu kompleks perumahan Kota Surabaya, bukan di kota tempat tinggal kami sebelumnya.


“Nanti aku belikan handphone baru, supaya kamu bisa komunikasi sama temen-temen kamu lagi. Sudah, jangan nangis ya”, lanjut Hendra.


Hendra memang pendiam. Aku tahu dia salah tingkah ketika melihatku menangis sesampainya di rumah baru kami. Meskipun begitu, kuhargai usahanya menenangkan aku. Namun air mataku tetap saja tak bisa berhenti mengucur.


“Kamu tenang saja, Lisa. Aku tidak akan berlaku kasar seperti Papaku. Kalau kamu menginginkan sesuatu, bilanglah padaku. Sekarang aku ini suamimu.” Katanya seraya duduk di sebelahku.


“Mas tahu? Sebenarnya aku sudah dapat beasiswa kuliah di Bandung. Tapi…..”






**to be continued**

2 comments:

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)