Pukul tujuh lebih lima menit.
Hari ini aku pulang malam. Ada acara penting di sekolah. Perutku mulai terasa
lapar rupanya. Ketika satu per satu siswa dan guru pulang, Bu Asih
menghampiriku. “Pulang naik apa Bu?” Aku berhenti mengamati siswa yang berjalan
bergerombol menuju gerbang sekolah. “Naik sepeda Bu. Bu Asih sendiri
bagaimana?” Guru Matematika itu tersenyum, “Dijemput suami Bu.”
Kami berjalan bersama menuju
gerbang sekolah yang mulai sepi. Bu Asih tampak menoleh ke kanan dan kiri,
mencari sosok suaminya. “Mungkin suami saya masih dalam perjalanan kemari,
kalau Bu Nisa hendak pulang dulu tak apa. Nanti kemalaman lho.” Benar juga, aku
jadi agak seram membayangkan jalanan gelap yang harus kulalui nanti. Baru
hendak berpamitan pada Bu Asih, seseorang memanggilku, setengah berteriak. Aku
dan Bu Asih menoleh ke arah suara itu.Sosoknya yang tadinya tak jelas terhalang
gelapnya malam, kini mulai mendekat dan jelas terlihat.
“Selamat malam Bu Guru,” katanya
sambil tersenyum dan menganggukkan kepala sopan padaku dan Bu Asih.
Ah rupanya Slamet. Dia teman SMP ku, yang entah kenapa akhir-akhir ini tiba-tiba rajin sekali muncul di hadapanku. Padahal setelah melanjutkan SMA, aku sudah tidak tahu kabarnya. Aku hanya tersenyum sekadarnya. “Sepedamu sudah saya ambilkan dari penitipan.” Katanya sambil menunjuk tempat sepeda disandarkan tak jauh dari tempat kami berdiri. “Bu Nisa, saya pulang dulu ya, itu suami saya sudah sampai. Mari Mas!” Bu Asih tiba-tiba menyela, kemudian meninggalkanku bersama Slamet. “Oh iya, terimakasih ya. Aku memang lupa bilang sama Bu Jum tadi kalau aku pulang malam.” Aku membayangkan sosok Bu Jum, pemilik penitipan sepeda langgananku, menungguiku pulang. Pastilah sepedaku jadi yang terakhir diambil tadi. Aku harus minta maaf besok.
Ah rupanya Slamet. Dia teman SMP ku, yang entah kenapa akhir-akhir ini tiba-tiba rajin sekali muncul di hadapanku. Padahal setelah melanjutkan SMA, aku sudah tidak tahu kabarnya. Aku hanya tersenyum sekadarnya. “Sepedamu sudah saya ambilkan dari penitipan.” Katanya sambil menunjuk tempat sepeda disandarkan tak jauh dari tempat kami berdiri. “Bu Nisa, saya pulang dulu ya, itu suami saya sudah sampai. Mari Mas!” Bu Asih tiba-tiba menyela, kemudian meninggalkanku bersama Slamet. “Oh iya, terimakasih ya. Aku memang lupa bilang sama Bu Jum tadi kalau aku pulang malam.” Aku membayangkan sosok Bu Jum, pemilik penitipan sepeda langgananku, menungguiku pulang. Pastilah sepedaku jadi yang terakhir diambil tadi. Aku harus minta maaf besok.
“Mau langsung pulang Nis?” Slamet
mengagetkanku. “Ya, sudah tambah larut juga. Ndak baik kalau pulang kemaleman.
Yasudah aku pulang dulu ya Met.” Kataku bergegegas mengambil sepedaku. Slamet
mengikuti dari belakang. Aku mulai mengayuh sepedaku. Kulihat Slamet masih
berdiam di samping sepedanya, melepas kepergianku. Meninggalkan kawasan kota,
jalanan mulai lengang, hanya suara jangkrik dan hewan malam yang bersahutan.
Lampu jalanan pun hanya sedikit yang berfungsi dengan baik. Rasanya juga hanya
aku yang ada di jalan ini. Tiba-tiba kudengar bunyi seseorang mengayuh sepeda
tak jauh di belakangku. Aku berhenti sejenak, dan orang di belakangku ikut
mengerem sepedanya. Ia tersenyum lebar padaku. “Slamet! Mengagetkan saja.”
Kataku antara cemas dan lega. Kulanjutkan perjalanan, dan Slamet terus
mengikuti dalam diam. Dalam hati aku senang dan merasa aman, karena ada Slamet.
Sejujurnya, aku takut pulang sendirian semalam ini.
Kami sudah sampai di desaku,
ketika Slamet tiba-tiba mendahului dan menghentikan laju sepedaku. “Tunggu
sebentar.” Katanya seolah tahu aku bertanya-tanya. Ia turun dan setengah
berlari ke salah satu gerobak bakso yang ada di pusat penjualan makanan
terbesar di desaku. Kemudian kembali lagi menghampiriku. “Sebentar ya.” Katanya
lagi. “Ah aku mau pulang dulu saja Met.” Tapi Slamet mencegah, “Tunggulah
sebentar, ndak akan lama kok. Nah itu dia.” Slamet kembali menuju gerobak
bakso. Aku terpaksa menunggu.
Tak lama, Ia datang membawa
bungkusan, yang dapat kupastikan, bakso. Meletakkannya pada keranjang sepedaku.
“Lho Met, kan kamu yang beli, kenapa ditaruh sepeda saya?” Belum sempat
kudengar jawaban Slamet, seseorang kemudian datang menaruh bungkusan pula dalam
keranjang sepedaku. “Karjo! Apa ini?” agak lama aku mengenali wajah teman kuliahku
itu. Dia sudah tampak tua saja. “Wedang ronde untuk Bu Guru,” katanya sambil
tersenyum manis. Senyum yang masih sama. “Baiklah kalau begitu, berapa?” Aku
bertanya, karena aku tahu Karjo-lah penjual wedang ronde itu. “Gratis.” Karjo
kemudian menjauh menghampiri para pembelinya. “Hati-hati di jalan Nis.” Ia
menyadari aku masih memandanginya. “Ya, terimakasih ya.”
Aku pun kembali mengayuh sepeda.
Slamet mengikuti seperti tadi. “Oh ya, bakso tadi bagaimana ini Met?” Slamet
rupanya melamun. “Buat kamu. Kan enak tho, habis makan bakso terus minum wedang
ronde. Mantap tenan!” Senyumnya tampak dibuat-buat.
Belum sempat aku berterimakasih pada slamet, sebuah suara berdering keras mengagetkanku. Ah rupanya jam wekerku. Sudah pagi rupanya. Saatnya bangun, sembahyang, dan bersiap mengajar. Ternyata aku hanya bermimpi. Dalam hati aku kecewa juga, belum sempat merasakan nikmatnya bakso dan wedang ronde pemberian teman-teman lamaku tadi. Hm... lapar!
No comments:
Post a Comment
mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)