Pages

Sunday, 2 February 2014

Tentang Aku, Amar, dan Sabrina

Sebelumnya aku selalu menolak, ketika Amar* mengajakku berteman. Aku selalu berusaha pergi menjauhinya begitu ia tersenyum padaku. Tapi suatu hari, Sabrina*, sahabatku, meninggalkanku sendiri. Katanya, ia sangat lapar. Ia ingin membeli beberapa makanan untuk disantap. Sebenarnya aku takut, meski Sabrina bilang, ia tidak akan lama meninggalkanku. Akhirnya dengan berat hati aku mengiyakan permintaan Sabrina untuk pergi. Aku tidak ingin tubuhnya makin kurus kering karena tidak makan berhari-hari. Duduklah aku seorang diri dengan perasaan tak menentu menunggu Sabrina kembali. Satu jam. Tiga jam. Enam jam. Tujuh jam. Aku masih mencoba tetap menunggu meski tanpa teman. Pada jam kedelapan, seseorang muncul dari kejauhan. Aku berdiri bahagia menyambutnya. Tapi dia bukan Sabrina. Amar-lah yang datang. Aku sedih, kenapa malah Amar yang datang di saat seperti ini?

Aku sudah daritadi berada di jalan penantian yang tak ada ujungnya. Meski Sabrina tidak memintaku menunggunya, sebagai sahabat, aku tetap ingin menunggu dan melihatnya kembali dengan utuh. Hey Sabrina, kamu kemana sih? Aku sudah sangat ingin menangis. Dan saat butir air pertama jatuh dari mataku hingga habis sebagian isi tisu travel pack ku, Amar begitu setia menemaniku. Aku tidak mampu menolak siapapun, ketika kesedihan sudah bergolak di dada. Aku bahkan tidak ingat kata-kata Sabrina yang selalu bilang: Jangan sampai kemakan omongan manisnya Amar. Dia itu jago ngerayu. Aku sudah tidak peduli. Atau mungkin, aku peduli tapi aku sedang lupa? Yang pasti, sejak saat itu, Amar dan aku sudah berteman.

:'( 


Amar*    = Amarah/Marah/Jengkel
Sabrina* = Sabar/Kesabaran

No comments:

Post a Comment

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)