Sebelumnya aku selalu menolak,
ketika Amar* mengajakku berteman. Aku selalu berusaha pergi menjauhinya begitu
ia tersenyum padaku. Tapi suatu hari, Sabrina*, sahabatku, meninggalkanku sendiri. Katanya,
ia sangat lapar. Ia ingin membeli beberapa makanan untuk disantap. Sebenarnya
aku takut, meski Sabrina bilang, ia tidak akan lama meninggalkanku. Akhirnya
dengan berat hati aku mengiyakan permintaan Sabrina untuk pergi. Aku tidak ingin
tubuhnya makin kurus kering karena tidak makan berhari-hari. Duduklah aku
seorang diri dengan perasaan tak menentu menunggu Sabrina kembali. Satu jam. Tiga jam.
Enam jam. Tujuh jam. Aku masih mencoba tetap menunggu meski tanpa teman. Pada
jam kedelapan, seseorang muncul dari kejauhan. Aku berdiri bahagia
menyambutnya. Tapi dia bukan Sabrina. Amar-lah yang datang. Aku sedih, kenapa
malah Amar yang datang di saat seperti ini?
Aku sudah daritadi berada di jalan penantian yang tak ada ujungnya. Meski Sabrina tidak memintaku menunggunya, sebagai sahabat, aku tetap ingin menunggu dan melihatnya kembali dengan utuh. Hey Sabrina, kamu kemana sih? Aku sudah sangat ingin menangis. Dan
saat butir air pertama jatuh dari mataku hingga habis sebagian isi tisu travel pack ku, Amar begitu setia menemaniku. Aku tidak mampu menolak
siapapun, ketika kesedihan sudah bergolak di dada. Aku bahkan tidak ingat
kata-kata Sabrina yang selalu bilang: Jangan sampai kemakan
omongan manisnya Amar. Dia itu jago ngerayu.
Aku sudah tidak peduli. Atau mungkin, aku peduli tapi aku sedang lupa? Yang
pasti, sejak saat itu, Amar dan aku sudah berteman.
:'(
Amar* = Amarah/Marah/Jengkel
Sabrina* = Sabar/Kesabaran
No comments:
Post a Comment
mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)