Pages

Tuesday, 22 April 2014

Manis

Bahagia memang sederhana. Seperti sore ini, ketika kita duduk bersama di teras rumah. Rasanya begitu menyenangkan bisa memandangi wajah segarmu sehabis mandi dari dekat. Lelah yang tadi begitu jelas terlihat, seolah hilang tak berbekas. Angin sore yang lewat turut menguarkan aroma body lotion yang beberapa saat tadi kau oleskan ke lengan dan kakimu. Juga membantu mengeringkan rambut panjangku yang masih basah setelah keramas.

Hidangan di meja menambah manisnya sore ini: sebatang cokelat putih yang agak lumer, puding cokelat dingin, serta susu murni rasa stroberi yang kini tinggal separuh. Jalan depan rumah yang kebetulan ramai, sedikit menyita perhatianmu. Lagu yang mengalun dari hapemu terdengar semakin nyaring, seiring terbenamnya matahari dan hilangnya kendaraan yang lalu lalang di depan kita.

Sunday, 20 April 2014

ngawur

“Percaya ngga Ta, kata temenku, tiap ada bengkel pasti ada pohon ini di deketnya.” Kataku sambil menunjuk pohon di depan kami.

“Mosok sih?” ia terdiam sebentar, kemudian, “Tapi iya juga ya, kebanyakan ada di deket bengkel.” Katanya sambil senyum melihat pohon.

Beberapa saat semuanya hening, radio yang tadi dinyalakan keras-keras sudah dimatikan sejak adzan ashar berkumandang. Hingga kemudian yang terdengar hanya suara berisik tukang bengkel yang sedang berusaha membetulkan si Ijo. Aku berulang-ulang bergantian mengamati jalan, musholla, gang kecil di hadapanku, jemuran di atasku, sandalku, serta satu dua kendaraan yang lewat.

Aku bosan duduk, bangkit lalu berpindah mendekati pohon itu, mengamati atas. Tidak ada buah yang matang. Aku duduk lagi, di samping pohon itu. Aku meng- “sst” dia beberapa kali yang masih ajeg duduk di tempatnya. Suara sst-ku ternyata kalah oleh suara berisik dari salah satu alat bengkel.  Ia pun kebetulan sedang memperhatikan si ijo, hingga tak tahu kalau aku berniat memanggilnya.

Akhirnya kuputuskan memanggilnya dengan suara agak keras. Berhasil, ia melihatku sambil menunjukkan ekspresi kenapa?

Friday, 18 April 2014

Surat (Cinta?)

Bicara soal surat menyurat, saya merasa beruntung terlahir di tahun 90-an yang masih sempat merasakan serunya surat menyurat. Saya masih ingat, ketika SD saya sudah mulai suka berkirim surat dengan teman saya, meskipun isinya ngga penting-penting amat. Mulai pakai kertas dari halaman tengah buku tulis, sampai pakai kertas surat bergambar lucu pun sudah pernah. Bahkan di awal SMP saya masih suka surat-suratan dengan teman saya, cewe, yang meski topik pembicaraan kita hampir selalu sama tapi kami tak pernah bosan untuk saling membalas. Dan ketika memasuki pertengahan SMP, saya baru mengerti kalau surat juga bisa digunakan untuk menyampaikan isi hati. Ya, saat itu saya mulai mendapat surat-surat dari para penggemar saya :p

Sok punya penggemar ya? Haha, tapi saya serius. Sebenernya bukan cuma surat sih, ada juga yang kasih puisi. Meskipun ada yang aneh, tapi saya suka. Kebetulan sampai sekarangpun saya masih menyimpannya. Bukan apa-apa, tapi surat-surat itu cukup bisa membuat saya tersenyum tiap kali membacanya. Lucu, namanya juga anak SMP yang nulis, hihi. Buat yang penasaran, don’t worry, soalnya sekarang saya mau share beberapa yang udah lulus sensor. Langsung aja deh, ini diaa...

Saturday, 5 April 2014

Gelombang ~

Lanjutan dari: Es Lilin

Perjalanan pulang menyebrangi lautan tak semulus perjalanan berangkat tadi.  Karena hari semakin sore, gelombang laut menjadi lebih besar, ditambah lagi penumpang yang kali ini lebih banyak. Menjadikan perahu terombang-ambing sempurna. Kami duduk di belakang bagian tengah, dekat mesin diesel perahu ini. Aku merasa beruntung tidak duduk di tepi. Karena beberapa kali air laut menghantam perahu, hingga percikan air mengenai wajah para penumpang. Dan yang paling banyak menikmati asinnya air laut adalah mereka yang duduk di tepi perahu.

Jeritan keras dari gadis-gadis berbadan besar di barisan depan muncul berkala, seiring percikan air yang semakin banyak mengenai wajah mereka. Seperti naik wahana di dunia fantasi saja. Ibu paruh baya yang duduk di sebelah kananku juga sudah memasang wajah ngeri sambil sesekali tertawa menghibur diri. Anak kecil yang daritadi berdiri di depan ibu itu, sudah pindah ke pangkuan ibunya, di depanku, yang tak tega melihat baju anaknya semakin basah. Ekspresi adik kecil itu juga berubah takut, padahal tadinya dia tersenyum lebar.

Es Lilin

Sekelompok ikan kecil menari-nari di beningnya air ketika perahu motor yang kami tumpangi berhenti. Sebisa mungkin aku mencoba menjaga keseimbanganku di atas perahu yang bergoyang-goyang, demi mencapai tepian dermaga pulau kecil ini. Dua belas empat lima siang. Matahari begitu terik, memaksa kami berjalan dalam langkah-langkah lebar. Aku masih mengamati sekitar, mencoba mengingat, apakah aku sudah pernah sampai ke sini sebelumnya. Tapi begitu dia menjelaskan banyak hal tentang pulau ini, barulah aku sadar kalau aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya.

Tidak ada yang terlalu menarik di pulau ini. Begitu masuk, jalan setapak yang sudah dipaving mengular jauh ke dalam, entah seberapa panjang. Kami memutuskan untuk tidak menyusuri seluruh jalan itu. Di samping kiri dan kanan hanya ada tanaman-tanaman liar. Terlalu sepi dan menyeramkan jika berada di sana hanya berdua, Tapi kemudian, semakin ke dalam, kami menemukan bangunan yang terawat. Musholla dan makam leluhur, entah siapa.