“Percaya
ngga Ta, kata temenku, tiap ada bengkel pasti ada pohon ini di deketnya.” Kataku
sambil menunjuk pohon di depan kami.
“Mosok
sih?” ia terdiam sebentar, kemudian, “Tapi iya juga ya, kebanyakan ada di deket
bengkel.” Katanya sambil senyum melihat pohon.
Beberapa
saat semuanya hening, radio yang tadi dinyalakan keras-keras sudah dimatikan sejak
adzan ashar berkumandang. Hingga kemudian yang terdengar hanya suara berisik
tukang bengkel yang sedang berusaha membetulkan si Ijo. Aku berulang-ulang
bergantian mengamati jalan, musholla, gang kecil di hadapanku, jemuran di
atasku, sandalku, serta satu dua kendaraan yang lewat.
Aku
bosan duduk, bangkit lalu berpindah mendekati pohon itu, mengamati atas. Tidak
ada buah yang matang. Aku duduk lagi, di samping pohon itu. Aku meng- “sst” dia
beberapa kali yang masih ajeg duduk di tempatnya. Suara sst-ku ternyata kalah oleh suara berisik dari salah satu alat
bengkel. Ia pun kebetulan sedang memperhatikan si
ijo, hingga tak tahu kalau aku berniat memanggilnya.
Akhirnya
kuputuskan memanggilnya dengan suara agak keras. Berhasil, ia melihatku sambil
menunjukkan ekspresi kenapa?
“Pulang
yuk..” kataku manyun. Sumpah, aku sudah bosan berada di bengkel ini berjam-jam.
Lapar juga. Ia malah tersenyum dan pindah duduk di sebelahku. “Kenapa?”
“Kita
pulang aja, motormu nanti aja diambil. Ya? Aku pengen pulang sekarang.”
“Lha
terus, nanti aku pulangnya gimana?”
“Ya
nanti aku anter ke sini, gampang kan?”
“Ye..
yo ojo.. Jangan. Ditunggu aja.” Katanya kalem sambil menatap pohon yang lagi-lagi di depan kami, meski kami sudah
pindah tempat. Tempat duduknya memang dibuat menghadap ke pohon.
Aku
cuma bisa ber-huh pelan mendengar
jawabanmu.
Aku
melihat ke atas kami lagi, “kenapa buahnya ga ada yang merah ya? Lagi ga musim
kali ya? Kemarin aku liat di deket kampusku juga ga ada yang mateng tuh.”
Kamu
ikut melihat ke atas, tapi tidak berkomentar.
“eh,
di tempat kamu, pohon ini namanya apa Ta?” tanyaku serius.
“Kresem.”
Jawabnya.
“oh,
beda-beda ya orang nyebutnya. Tapi intinya hampir sama sih, Kersen. Haha.” aku
tertawa sendiri.
“Enak
lho Ta, aku suka nih.”
“iya
aku juga suka, tapi sayang ga ada yang merah.”
“ada
tuh,” ujarnya.
“mana?”
“Dibawahmu.”
Katanya menunjuk buah kresem yang sudah tergencet. Dia tertawa.
Tiba-tiba
saja dia berdiri lalu meraih batang pohon di atas atap rumah rendah di dekat
kami. Dia mendapat satu butir warna merah dan diberikan padaku. Aku senang,
lalu segera memakannya.
“Tuh
ada lagi.” Kataku menunjuk bagian yang tak terjangkau.
“Kejauhan
Ta.” Dia masih terus mengamati, dan tahu-tahu sudah mendapat lagi buah yang
kemerahan. “Ini kesukaanku,” katanya menunjukkanku buah yang warnanya keemasan,
setengah matang.
Ia
memberikanku buah-buah berwarna merah, sementara dia sendiri malah memakan yang
berwarna hijau. Terdengar suara renyah saat ia mengunyah buah hijau itu.
“Asem
gak sih rasanya?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi melihatnya memakan buah
itu.
“gak
kok.” Katanya mantap. “Coba aja.” Ia menyodorkan buah hijau yang lain.
“Hi emoh ah, ga mau.” Kataku sambil
geleng kepala.
Setelahnya
kami duduk kembali, tenggelam dalam pikiran masing-masing, kemudian tiba-tiba
ia bertanya: "gimana, enak to?"
Aku
refleks menjawab, “hah, apanya?”
“Di
sini.” Katanya sambil senyum. “sekali-kali pacaran di bengkel juga dong,
biar beda.”
Aku terdiam, meski dalam hati bilang: dimanapun enak kok kalau sama kamu. Tapi ga terucap karena sedang ga kepengin bikin anak orang ge'er.
Sebenarnya aku
sendiri tidak menyangka bisa berada di sini. Ini bukan kotaku, bukan pula di
kotanya. Tapi di sinilah kami sekarang, menunggui si Ijo dibedah hingga
berjam-jam. Aku yang tadi kurang sabar menunggu sekaligus khawatir dengannya
seketika pergi menyusul begitu tahu kalau si Ijo ngambek di jalan. Aku bahkan
sempat tersasar jauh sebelum sampai ke bengkel ini.
Meski begitu, semuanya
menjadi unforgettable karena ini
pertama kalinya aku naik motor sendirian hingga sejauh ini. Ayahku saja cukup shock ketika malamnya tahu aku naik
motor sendiri sejauh itu. Ada sedikit kekhawatiran dalam ekspresi kagetnya. Tapi
aku hehe-kan saja.
Aku sama sekali tidak menyesal, meski kami baru sampai rumah pukul 17.30 (molor 4 jam lebih) dengan tubuh kotor dan rasa lelah. Dan meski aku sempat ngomel dalam hati waktu kesasar, karena dia yang ngga jelas ngasih petunjuk, dilanjut ngomel langsung di depan dia pas udah ketemu. hehe.
Namun sekali lagi dia membuatku percaya bahwa apa yang aku pikir tidak mungkin atau tidak bisa, ternyata mungkin-mungkin saja aku lakukan. Thanks :*
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
No comments:
Post a Comment
mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)