Pages

Sunday, 20 April 2014

ngawur

“Percaya ngga Ta, kata temenku, tiap ada bengkel pasti ada pohon ini di deketnya.” Kataku sambil menunjuk pohon di depan kami.

“Mosok sih?” ia terdiam sebentar, kemudian, “Tapi iya juga ya, kebanyakan ada di deket bengkel.” Katanya sambil senyum melihat pohon.

Beberapa saat semuanya hening, radio yang tadi dinyalakan keras-keras sudah dimatikan sejak adzan ashar berkumandang. Hingga kemudian yang terdengar hanya suara berisik tukang bengkel yang sedang berusaha membetulkan si Ijo. Aku berulang-ulang bergantian mengamati jalan, musholla, gang kecil di hadapanku, jemuran di atasku, sandalku, serta satu dua kendaraan yang lewat.

Aku bosan duduk, bangkit lalu berpindah mendekati pohon itu, mengamati atas. Tidak ada buah yang matang. Aku duduk lagi, di samping pohon itu. Aku meng- “sst” dia beberapa kali yang masih ajeg duduk di tempatnya. Suara sst-ku ternyata kalah oleh suara berisik dari salah satu alat bengkel.  Ia pun kebetulan sedang memperhatikan si ijo, hingga tak tahu kalau aku berniat memanggilnya.

Akhirnya kuputuskan memanggilnya dengan suara agak keras. Berhasil, ia melihatku sambil menunjukkan ekspresi kenapa?


“Pulang yuk..” kataku manyun. Sumpah, aku sudah bosan berada di bengkel ini berjam-jam. Lapar juga. Ia malah tersenyum dan pindah duduk di sebelahku. “Kenapa?”

“Kita pulang aja, motormu nanti aja diambil. Ya? Aku pengen pulang sekarang.”

“Lha terus, nanti aku pulangnya gimana?”

“Ya nanti aku anter ke sini, gampang kan?”

“Ye.. yo ojo.. Jangan. Ditunggu aja.” Katanya kalem sambil menatap pohon yang lagi-lagi di depan kami, meski kami sudah pindah tempat. Tempat duduknya memang dibuat menghadap ke pohon.

Aku cuma bisa ber-huh pelan mendengar jawabanmu.

Aku melihat ke atas kami lagi, “kenapa buahnya ga ada yang merah ya? Lagi ga musim kali ya? Kemarin aku liat di deket kampusku juga ga ada yang mateng tuh.”

Kamu ikut melihat ke atas, tapi tidak berkomentar.

“eh, di tempat kamu, pohon ini namanya apa Ta?” tanyaku serius.

“Kresem.” Jawabnya.

“oh, beda-beda ya orang nyebutnya. Tapi intinya hampir sama sih, Kersen. Haha.” aku tertawa sendiri.

“Enak lho Ta, aku suka nih.”

“iya aku juga suka, tapi sayang ga ada yang merah.”

“ada tuh,” ujarnya.

“mana?”

“Dibawahmu.” Katanya menunjuk buah kresem yang sudah tergencet. Dia tertawa.

Tiba-tiba saja dia berdiri lalu meraih batang pohon di atas atap rumah rendah di dekat kami. Dia mendapat satu butir warna merah dan diberikan padaku. Aku senang, lalu segera memakannya.

“Tuh ada lagi.” Kataku menunjuk bagian yang tak terjangkau.

“Kejauhan Ta.” Dia masih terus mengamati, dan tahu-tahu sudah mendapat lagi buah yang kemerahan. “Ini kesukaanku,” katanya menunjukkanku buah yang warnanya keemasan, setengah matang.

Ia memberikanku buah-buah berwarna merah, sementara dia sendiri malah memakan yang berwarna hijau. Terdengar suara renyah saat ia mengunyah buah hijau itu.

“Asem gak sih rasanya?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi melihatnya memakan buah itu.

“gak kok.” Katanya mantap. “Coba aja.” Ia menyodorkan buah hijau yang lain.

Hi emoh ah, ga mau.” Kataku sambil geleng kepala.

Setelahnya kami duduk kembali, tenggelam dalam pikiran masing-masing, kemudian tiba-tiba ia bertanya: "gimana, enak to?"

Aku refleks menjawab, “hah, apanya?”

“Di sini.” Katanya sambil senyum. “sekali-kali pacaran di bengkel juga dong, biar beda.”

Aku terdiam, meski dalam hati bilang: dimanapun enak kok kalau sama kamu. Tapi ga terucap karena sedang ga kepengin bikin anak orang ge'er.

Sebenarnya aku sendiri tidak menyangka bisa berada di sini. Ini bukan kotaku, bukan pula di kotanya. Tapi di sinilah kami sekarang, menunggui si Ijo dibedah hingga berjam-jam. Aku yang tadi kurang sabar menunggu sekaligus khawatir dengannya seketika pergi menyusul begitu tahu kalau si Ijo ngambek di jalan. Aku bahkan sempat tersasar jauh sebelum sampai ke bengkel ini.

Meski begitu, semuanya menjadi unforgettable karena ini pertama kalinya aku naik motor sendirian hingga sejauh ini. Ayahku saja cukup shock ketika malamnya tahu aku naik motor sendiri sejauh itu. Ada sedikit kekhawatiran dalam ekspresi kagetnya. Tapi aku ­hehe-kan saja.

Aku sama sekali tidak menyesal, meski kami baru sampai rumah pukul 17.30 (molor 4 jam lebih) dengan tubuh kotor dan rasa lelah. Dan meski aku sempat ngomel dalam hati waktu kesasar, karena dia yang ngga jelas ngasih petunjuk, dilanjut ngomel langsung di depan dia pas udah ketemu. hehe.

Namun sekali lagi dia membuatku percaya bahwa apa yang aku pikir tidak mungkin atau tidak bisa, ternyata mungkin-mungkin saja aku lakukan. Thanks :*

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

No comments:

Post a Comment

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)