Sekelompok
ikan kecil menari-nari di beningnya air ketika perahu motor yang kami tumpangi
berhenti. Sebisa mungkin aku mencoba menjaga keseimbanganku di atas perahu yang
bergoyang-goyang, demi mencapai tepian dermaga pulau kecil ini. Dua belas empat
lima siang. Matahari begitu terik, memaksa kami berjalan dalam langkah-langkah
lebar. Aku masih mengamati sekitar, mencoba mengingat, apakah aku sudah pernah
sampai ke sini sebelumnya. Tapi begitu dia menjelaskan banyak hal tentang pulau
ini, barulah aku sadar kalau aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya.
Tidak
ada yang terlalu menarik di pulau ini. Begitu masuk, jalan setapak yang sudah
dipaving mengular jauh ke dalam, entah seberapa panjang. Kami memutuskan untuk
tidak menyusuri seluruh jalan itu. Di samping kiri dan kanan hanya ada
tanaman-tanaman liar. Terlalu sepi dan menyeramkan jika berada di sana hanya
berdua, Tapi kemudian, semakin ke dalam, kami menemukan bangunan yang terawat.
Musholla dan makam leluhur, entah siapa.
Karena sudah siang, kami memutuskan
untuk sholat dhuhur. Berwudhu dengan air asin, kami melanjutkan dengan sholat
berjamaah. Musholla kecil itu langsung terlihat penuh oleh orang yang tidak
begitu banyak. Usai sholat, kami berjalan santai melewati jalan yang ada.
Sekali lagi, sepi, itulah kesan yang kudapat di tempat itu. Di belakang kami,
seorang bule wanita sedang berbicara pada dua anak kecil di sampingnya, entah
dengan bahasa apa. Tapi keberadaan bule cantik itu cukup membuatku kaget,
karena aku pikir tidak ada warga Negara asing yang akan mengetahui tempat ini.
Semakin
mendekati pintu keluar, kami melihat lagi bapak yang terduduk di tepi jalan bersama
termos es warna hijau mudanya. Tadi kau bilang, bapak itu sudah lama berjualan
es lilin di sini, membuatku semakin terenyuh melihatnya. Begitu kami tinggal
beberapa langkah darinya, bapak penjual menawarkan es lilinnya pada kami. Aku
yang sedari tadi sudah memerhatikan bapak itu seketika langsung mendekat dan
berjongkok di depannya tanpa menunggu persetujuanmu. Aku tanyakan padanya rasa
dari es warna-warni itu. Bapak penjual menjelaskan satu persatu rasa es
lilin-nya. Beda warna beda rasa. Ternyata bapak itu agak kesulitan berbicara.
Aku mendongak, menatapmu sejenak. Setelah kata “kuning” keluar, aku mengambil
warna hijau. “Dua ribu, mbak.” Kata bapak penjual.
Setelahnya,
kami berjalan beriringan sambil menikmati es lilin masing-masing. Punyamu rasa
duren, punyaku rasa melon. Entah kenapa, makan es lilin terasa menyenangkan
sekali. Menyenangkan karena selain bersama kamu, es lilin tentu punya sejarah
tersendiri di masa SD kami. Aku cekikikan sendiri saat mengenang masa berseragam
putih-merah dulu. Kau di sampingku seperti biasa, menanggapi dengan gayamu yang
biasa saja, selalu terlihat akulah orang terlebay jika bersama kamu. Kami duduk
di sebuah tempat duduk dekat pintu keluar. Cukup jelas untuk memandangi perahu
motor bernomor 24. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum perahu kembali ke
sebrang.
Sambil tetap menghabiskan es lilin yang bagiku
rasanya agak asin, kami memandang laut lepas. Saat itulah kulihat kau mulai
menyadari sesuatu. “Kamera Ta.” Aku dengar, tapi masih sibuk dengan es hijauku,
tidak menanggapimu. “aku ga bawa apapun buat foto lho.” Sambungnya. Refleks aku
tertawa, “aku juga ga bawa kok.” Kami sama-sama tersenyum. Entah dia tersenyum
untuk apa. Saat itu yang terlintas di benakku hanyalah: mungkin perjalanan ini
akan terasa semakin indah dengan kita mengabadikannya saja dalam ingatan. Haha,
kalau aku ucapkan itu, pastilah dia akan mengatakanku lebay. Jadi lebih baik
aku diam saja :D
Bersambung ke: Gelombang ~
Bersambung ke: Gelombang ~
No comments:
Post a Comment
mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)