Pages

Saturday, 5 April 2014

Es Lilin

Sekelompok ikan kecil menari-nari di beningnya air ketika perahu motor yang kami tumpangi berhenti. Sebisa mungkin aku mencoba menjaga keseimbanganku di atas perahu yang bergoyang-goyang, demi mencapai tepian dermaga pulau kecil ini. Dua belas empat lima siang. Matahari begitu terik, memaksa kami berjalan dalam langkah-langkah lebar. Aku masih mengamati sekitar, mencoba mengingat, apakah aku sudah pernah sampai ke sini sebelumnya. Tapi begitu dia menjelaskan banyak hal tentang pulau ini, barulah aku sadar kalau aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya.

Tidak ada yang terlalu menarik di pulau ini. Begitu masuk, jalan setapak yang sudah dipaving mengular jauh ke dalam, entah seberapa panjang. Kami memutuskan untuk tidak menyusuri seluruh jalan itu. Di samping kiri dan kanan hanya ada tanaman-tanaman liar. Terlalu sepi dan menyeramkan jika berada di sana hanya berdua, Tapi kemudian, semakin ke dalam, kami menemukan bangunan yang terawat. Musholla dan makam leluhur, entah siapa. 

Karena sudah siang, kami memutuskan untuk sholat dhuhur. Berwudhu dengan air asin, kami melanjutkan dengan sholat berjamaah. Musholla kecil itu langsung terlihat penuh oleh orang yang tidak begitu banyak. Usai sholat, kami berjalan santai melewati jalan yang ada. Sekali lagi, sepi, itulah kesan yang kudapat di tempat itu. Di belakang kami, seorang bule wanita sedang berbicara pada dua anak kecil di sampingnya, entah dengan bahasa apa. Tapi keberadaan bule cantik itu cukup membuatku kaget, karena aku pikir tidak ada warga Negara asing yang akan mengetahui tempat ini.

Semakin mendekati pintu keluar, kami melihat lagi bapak yang terduduk di tepi jalan bersama termos es warna hijau mudanya. Tadi kau bilang, bapak itu sudah lama berjualan es lilin di sini, membuatku semakin terenyuh melihatnya. Begitu kami tinggal beberapa langkah darinya, bapak penjual menawarkan es lilinnya pada kami. Aku yang sedari tadi sudah memerhatikan bapak itu seketika langsung mendekat dan berjongkok di depannya tanpa menunggu persetujuanmu. Aku tanyakan padanya rasa dari es warna-warni itu. Bapak penjual menjelaskan satu persatu rasa es lilin-nya. Beda warna beda rasa. Ternyata bapak itu agak kesulitan berbicara. Aku mendongak, menatapmu sejenak. Setelah kata “kuning” keluar, aku mengambil warna hijau. “Dua ribu, mbak.” Kata bapak penjual.

Setelahnya, kami berjalan beriringan sambil menikmati es lilin masing-masing. Punyamu rasa duren, punyaku rasa melon. Entah kenapa, makan es lilin terasa menyenangkan sekali. Menyenangkan karena selain bersama kamu, es lilin tentu punya sejarah tersendiri di masa SD kami. Aku cekikikan sendiri saat mengenang masa berseragam putih-merah dulu. Kau di sampingku seperti biasa, menanggapi dengan gayamu yang biasa saja, selalu terlihat akulah orang terlebay jika bersama kamu. Kami duduk di sebuah tempat duduk dekat pintu keluar. Cukup jelas untuk memandangi perahu motor bernomor 24. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum perahu kembali ke sebrang.

Sambil tetap menghabiskan es lilin yang bagiku rasanya agak asin, kami memandang laut lepas. Saat itulah kulihat kau mulai menyadari sesuatu. “Kamera Ta.” Aku dengar, tapi masih sibuk dengan es hijauku, tidak menanggapimu. “aku ga bawa apapun buat foto lho.” Sambungnya. Refleks aku tertawa, “aku juga ga bawa kok.” Kami sama-sama tersenyum. Entah dia tersenyum untuk apa. Saat itu yang terlintas di benakku hanyalah: mungkin perjalanan ini akan terasa semakin indah dengan kita mengabadikannya saja dalam ingatan. Haha, kalau aku ucapkan itu, pastilah dia akan mengatakanku lebay. Jadi lebih baik aku diam saja :D

Bersambung ke: Gelombang ~

No comments:

Post a Comment

mau beri komentar, kritik atau saran, monggo...
komentar Anda sangat berarti :)